AH! MARAH!

Hari itu Rina mendapat sebuah undangan untuk sleepover malam nanti di rumah Vera, anak baru di sekolahnya yang baru satu hari saja telah klik dengannya. Vera bukanlah anak smp kebanyakan yang mulai mengenal tren dan mode masa kini. Bisa dibilang penampilannya kuno. Ngomong-ngomong soal kuno, itu tergantung penilaian masing-masing. Karena barang yang sedang trending lima tahun lalu terkadang bisa dibilang kuno jika dibandingkan saat ini. Jadi kita lupakan saja tentang penampilan Vera. Iya, lupakan saja rasa yang ada di hati. Karena menilai penampilan orang adalah hal tak baik dan kurang pantas bagi orang awam. Hal itu adalah hak para pemerhati fashion yang duduk-duduk di tepi catwalk, sambil makan gorengan dengan bumbu kacang. Entahlah mereka itu memang mengerti fashion atau cuma nimbrung karena ada gorengan gratis?

Mari kita balik untuk fokus ke Rina, karena hari sudah gelap.

Setelah menempuh perjalanan dengan bantuan teleportasi seorang mutan yang tak bisa disebutkan namanya di sini, sepertinya Rina sudah berada di teras rumah Vera. Dalam hal ini Rina begitu yakin dan tak memerlukan pemikiran lain macam; ‘sepertinya’. Sebagai pembaca, kita hormati saja keputusannya, karena kepercayaan diri itu penting.

Oke, setelah berhasil menghimpun kesadaran dari perjalanan memualkan bersama mutan tadi, ia pun diam sejenak. Sambil menghirup aroma mentol dari inhaler, Rina menengok ke kiri dan ke kanan, lalu memutar badannya mirip Michael Jackson saat beraksi di panggung dan diakhiri dengan mengangkat tangan kanan sambil mengacungkan jari telunjuk. Tidak ketinggalan dengan suara ‘Hi-hi’nya. Sayang, aksi kerennya tadi tak ada yang memerhatikan. Jadinya hanya untuk gaya-gayaan, menghibur diri. Karena suasananya memang sepi.

Iya.

Keadaan rumah yang terbuat dari beton itu juga sepi, bersahabat dengan kusamnya cat dinding dan lampu terasnya yang redup.

Rina bergegas mencari tombol bel rumah untuk dipencet.

Tidak ada …

Ia pun mengetuknya dengan keras, karena ia merasa bahan pintunya terbuat dari kayu besi yang tebal.

Setelah beberapa ketukan pelan namun berirama, ternyata tak dirasakan ada respon sama sekali dari dalam rumah. Dari jendela kaca juga tak terlihat lampu di dalam dinyalakan. Tak ada orang berteriak ‘Tunggu sebentar!’, apalagi suara langkah kaki yang mungkin tak bakal terdengar andaikan tidak memakai alas yang bisa menghasilkan suara saat menghantam lantai. Namun anehnya, hanya ada lolongan anjing ……., terdengar soak pula, tidak alamiah. Sepertinya dari suara kaset yang memiliki pita lecek, diputar menggunakan compo murahan milik seseorang, entah tetangga mana yang menyetel.

Merasa kesal, Rina mulai mengetuk lagi dengan lebih keras, kali ini dengan irama layaknya rentetatan peluru yang ditembakkan senapan mesin; RATATATATATATATATATATATATA!

Karena ini adalah ketukan, maka bunyi yang seharusnya dihasilkan adalah: TUKTIKTAKTIKTUKTIKTAKTIKTUK! Suara sepatu kuda.

Beberapa menit kemudian, ketukan beralih menjadi gedoran!

BRAKADUKABRAKADUKABRAKADUKABRAKABRAK!

Namun, setelah upaya yang mengikutsertakan gaya, yang jika diperhatikan, mirip tingkah drummer metal saat beraksi dengan rambut panjang yang gonjang-ganjing ber-headbanging, masih saja tak ada respon.

Rina diam sesaat.

Jari telunjuknya menggali lubang hidung.

Hasil galian lumayan melimpah.

Kemudian ia menghempaskan poni dan rambutnya yang panjang dan indah ke belakang tanpa slow motion …. dengan desahan seakan-akan mereguk kesegaran minuman berenergi.

Tetiba, layaknya seorang bocah model iklan susu formula yang mendapatkan ide biasa-biasa saja, matanya berbinar sambil berseru ‘A ha!”.

Ia angkat kursi kayu yang ada di teras dan langsung dihempaskan sekuat tenaga ke jendela kaca.

PRANG! PRANG! GEDEBUK! TEPERANGKANG!

Suara pecahan kaca memenuhi udara!

Kesunyian sirna.

Lampu-lampu disko menyala.

Para tetangga mulai menyembulkan kepala bersama seraya bertanya-tanya “Ada apa gerangan, ha?”, dan berkumpul sambil tunjuk sana, tunjuk sini layaknya model foto pre wedding yang disuruh pura-pura menunjuk entah-apalah-itu-di-sana.

Dengan suara hembusan angin kencang yang mengingatkan orang-orang akan sandiwara radio, yang ternyata berasal dari sebuah mini compo juga, terdengar begitu cocok menjadi suara pengiring kengerian yang dilihat orang-orang di sana; Rina berdiri dengan kepala mendongak, berkeringat deras, nafas tersengal-sengal dibumbui batuk. Ia menyeka ingus yang mengalir, lalu berteriak, “SIAPA YANG PUNYA KOREK API?!”.

Seseorang maju memberikan yang Rina inginkan. Namun tangannya mulai menggenggam tangan Rina.

“Jangan kau lakukan, Rin …”, ujarnya lirih.

Mendengar suara itu, Rina pun merasa terkejut. Ia mengenal suara itu! Lalu, entah bagaimana, halilintar menyambar, menggelegar cetar membahana. Hasilnya, satu pohon jambu porak-poranda, terbakar.

“VERA…!!???”, teriak Rina dengan wajah kaget dibuat-buat dan ingus tersedot.

Berderai air mata, Vera memeluk Rina, lalu berbisik, “Kamu salah rumah, itu bukan rumahku. Dan yang telah kamu lakukan ini, brutal!”. Keduanya pun tertawa dan berpelukan lebih erat. Orang-orang di sekeliling mereka pun turut tertawa, bertepuk tangan riang gembira, entahlah kenapa? Namun yang pasti, mereka hanya dibayar untuk mengikuti arahan sutradara.

THE END

Dipublikasi di Cerita Pendek Nah! | Meninggalkan komentar

BEBAS VONIS (Based on True Story)

Namanya Ribut. Seorang anak kuliahan. Sebagai anak pejabat, Ribut selalu bisa bergaya dengan …yang dibilang orang sih … keren … walau kadang tak berkelas. Namun kali ini, gaya hidup dan tetek bengeknya itu semua tak perlu diketahui karena itu urusan infotahiment. Karena kita hanya ingin intisarinya. Dan di malam pergantian tahun ini, Ribut menikmati malam yang gemerlap bersama teman-temannya. Dari makan-minum ringan, ketawa-ketiwi hingga kejar-kejaran a’la film India walaupun saat itu bukan di taman yang dipenuhi dengan pepohonan. Pokoknya malam itu menyenangkan bagi Ribut seperti senangnya Weezer menikmati Island in the Sun.

Kesenangan itu harus diakhiri, karena walaupun menyenangkan dan nikmat, kelelahan selalu saja dapat mengalahkan -tanya saja para aktor film porno kalau tak percaya. Dengan sisa kesenangan yang masih menempel di hati, Ribut masuk ke dalam mobil BeMoW-nya sambil berdendang untuk segera pulang. Dendang kemudian menjelma menjadi suara yang lebih merdu saat perangkat audio mobil memutar musik dengan volume tinggi. Ribut menikmati musiknya dengan iringan geleng-geleng hingga headbanging dalam artian menghantup-hantupkan dahinya ke setir!

Dengan atmosfir mengasyikkan seperti itu, Ribut mulai meresapi lagu-lagu dari koleksi mp3-nya -kebanyakan merupakan lagu-lagu dari para band alay seperti Kangen Band dan Ungu- dengan memejamkan mata, tancap gas lalu melaju kencang, serasa terbang melayang. Dengan keadaan seperti itu, unsur diabolik pun muncul, mengingat saat menyetir, menelpon dan sms saja sudah berbahaya apalagi memejamkan mata dan tak melihat apa yang ada di depan.

Mobil terus melaju kencang dengan penyetir yang sedang berada di dunia roman picisan. Orang di pinggir jalan sempat terkesima denga lajunya, hingga mereka harus koprol sambil bilang ‘wow’ saat penjual nasi goreng yang menyeberang dengan gerobaknya ditabrak tanpa ampun. Nasi putih berjatuhan layaknya salju yang turun di malam hari. Mobil terus melaju kencang dan kali ini menabrak sekumpulan waria yang juga sedang menyeberang. Kutang, cd, mini skirt, wig hingga ganjalan bra berhamburan di jalan.

Walau telah meninggalkan banyak korban di belakang, Ribut masih dalam kenikmatan. Dan saat itu sebuah pick-up berisi rombongan keluarga yang baru pulang dari menikmati acara panggung musik tahun baru berada tepat di depan mobil BeMoW milik Ribut yang seperti kita ketahui, masih dalam kecepatan tinggi. Orang-orang dalam bak pick-up berteriak menjerit-jerit menyadarkan Ribut. Namun apalah daya, walaupun dalam rombongan itu terdiri dari pendemo dengan TOA, vokalis band screamo dan pemimpin upacara, semua upaya akan sia-sia. Dalam hitungan detik, BeMoW Ribut menghantam keras pick-up malang itu. Kejadian tersebut begitu mengerikan namun bisa dibayangkan; seperti bola bowling yang bergulir menghantam pin …?, atau seperti anak cobek menghantam satu siung bawang putih …, begitulah.

Dengan kabut tebal yang mulai tersibak bagai curtain yang terbuka di panggung, pemandangan mengerikan mulai terlihat. Orang-orang dalam bak hanya tersisa 30%,  dimana 70% telah terkapar dan tercecer di tengah jalan, sangkut di pohon, tergeletak di trotoar. Orang-orang yang berada di sekitar kejadian mulai sigap: dari bergegas menolong korban, tunjuk sana-sini seperti dalam sinetron sampai mengeluarkan hp dan gadget berkamera untuk mengabadikan kejadian.

Akibat hempasan yang kuat, Ribut akhirnya sadar dari kenikmatan. Ia mengerutkan kening dengan keributan di luar dimana banyak orang memukul-mukul jendela mobilnya. Pada awalnya Ribut sempat ge’er, karena dipikirnya orang-orang ini mau minta tanda tangan hingga ia mendengar beberapa orang berteriak marah “ KELUAR KAMU, NJING!”.

Ribut keluar dari mobilnya dan melihat kekacauan yang ada. Dengan wajah blo’on ia bertanya “Ada kecelakaan ya bang?”. Semua orang langsung saling pandang. Kemudian, seorang lelaki mirip Nasar KDI berlenggok maju menghampiri dan mengayunkan sepatu ber-hak tingginya dengan kemayu ke kepala Ribut, “Ya! Eloh ituh penyebabnya. Cakep-cakep dodol! Iih gemes deh akyu!” ujarnya sambil mencubit pinggang Ribut. Beberapa orang ada yang geram, mulai hendak mendaratkan berbagai jenis bogem namun dihalangi oleh wasit karena persoalan pentingnya memberikan pertolongan pada para korban. Suara-suara yang menyatakan kondisi para korban bergema; ‘yang ini mati’,‘yang ini masih bernafas’,’yang ini saya kurang tau…’. Ribut pun gelisah, kemudian terdiam lemas dan mengucurlah keringat dingin, ingus dan .. kencing. Dengan tangan yang gemetar, Ribut pun merogoh kantong celana mengambil hp untuk menghubungi, siapa lagi … B-a-p-a-k-nya, Pak Harat.

Beberapa saat kemudian sang bapak datang diiringi beberapa ambulance yang ternyata kurang banyak untuk mengangkut para korban. Dengan kebaikan warga sekitar dan beberapa orang yang memiliki kendaraan, mereka secara sukarela membawa sisa korban yang tak terangkut ke rumah sakit. Ribut yang melihat sang bapak telah datang langsung berlari menghampiri dan memeluk erat, berurai air mata. “Pa, kata orang Ribut yang nabrak mereka Pa … padahal kalau Ribut yang nabrak, harusnya mobil Ribut ringsek ‘kan Pa? huhuhu”. Dengan tenang Pak Harat berujar “Mobil punyamu itu mobil mahal nak. Minggu kemarin mama kamu pakai, terus nabrak dinding sebuah sekolah, eh, bangunan sekolahnya yang ambruk. Mobilnya aman.”sambil mengelus-elus kepala Ribut. “Jadi, memang Ribut yang nabrak ya Pa?” tanya Ribut sambil menyedot ingusnya. “Iya nak. Betul sekali itu” jawab Pak Harat.” Tapi jangan kuatir, besok papa dan mama bakal ke rumah keluarga korban dan membesuk sisa korban yang masih hidup. Papa bakal bernegosiasi. Kamu ngilang aja dulu ke mana, terus pura-pura sakit. Nanti kalau saatnya sudah tepat, baru kamu tampil. Oke?”. Ribut hening sejenak, lalu “Oke deh Pa. Papa memang top deh …” seraya mengelap ingus ke kemeja bapaknya.

Esoknya Pak Harat beserta istri mengunjungi para korban dan turut berbelasungkawa. Ia juga bertemu dengan anggota keluarga korban dan memohon maaf namun semuanya dilakukan dengan ruangan yang tertutup bagi yang tak berkepentingan karena negosiasi akan dilancarkan.  Setelah semua urusan terselasaikan, Pak Harat dan istri pun menuju mobil pulang. Saat itu wartawan berdesakan mengerumuni Pak Harat sambil terus melempar pertanyaan mengharap pernyataan. Beberapa menghadang agar Pak Harat melayani permintaan mereka. “Baik, saya akan memberi apa yang anda inginkan. Sebagai ayah dari pelaku penabrakan, saya tak akan membiarkan anak saya lepas dari jeratan hukum. Saya tetap menyerahkan anak saya kepada pihak berwajib. Namun untuk saat ini dari pihak keluarga korban telah menyatakan bahwa mereka memaafkan dan ingin menyelesaikannya secara kekeluargaan saja. Oke? Puas? Baik kalau begitu minggir dulu semua ya”

Beberapa hari kemudian tibalah saatnya Ribut untuk menjalani pemeriksaan di kepolisian. Dengan mobil mewah mereka pun menuju ke Kepolisian. “Nanti kalau di kantor polisi, kamu pura-pura sakit, terus pingsan, jadi Papa bisa nego sama polisinya” wanti Pak Harat kepada Ribut. “Iya, Pa. Kalau perlu Ribut pingsan sambil buang air besar, biar ‘gak jadi diperiksa”. Sambil melempar senyum, Pak Harat pun mengiyakan ide anaknya “Bagus juga…”. Sesampainya di Kepolisian, puluhan wartawan sudah menanti dengan senyum kepada bahan berita nasional mereka. Bagai calon pengantin, para wartawan dan beberapa anggota polisi mengiringi langkah Ribut memasuki kantor Polisi menuju meja pemeriksaan. Dengan langkah gontai, Ribut memulai aktingnya. Pertama, ia buang air besar di celana, entah kenapa hari ini mencret dan aromanya membuat semua orang menutup hidung kemudian merasa jijik setelah melihat celana Ribut membasah. Lalu dengan memikirkan hipnotis Tommy Rafael, dalam hitungan ke-tiga Ribut pun menjatuhkan diri sebelum mencapai meja. Sialnya, sewaktu jatuh, orang-orang yang mengiringi Ribut malah menjauh, meminggirkan diri karena aroma dari feses yang dikeluarkan Ribut tadi. Alhasil, Ribut terhempas ke lantai dengan kepala lebih dulu menghantam konkrit. Akhirnya, rencana akting Ribut berpura-pura pingsan menjadi pingsan betulan.

Telah sebulan lamanya Ribut terbaring di rumah sakit. Keluarganya pun kuatir kalau anaknya tidak bisa bangun lagi. Kekuatiran itu tiba-tiba menguap saat semua anggota keluarga Ribut melihat dirinya melompat-lompat kegirangan di ranjang dengan mata melotot. Dan bukannya beralih menjadi kegembiraan dan kelegaan manakala Ribut berhenti melompat. Masih terus melotot dengan senyum lebar, ia menyerang kakak laki-lakinya dan menanamkan giginya di leher sang kakak. Semua mencoba melepas Ribut dari sang kakak. Memang berhasil, namun sang kakak terluka parah. Ribut dengan buasnya terus berontak. Pak Harat yang melihat perubahan Ribut pun bergegas mengambil fire extinguisher di dinding lalu mendaratkan ke kepala Ribut dengan keras. Dan seperti bisa ditebak, Ribut pingsan …lagi.

Dengan perubahan Ribut yang kompleks, pengadilan pun memutuskan bahwa Ribut bebas dari vonis bersalah sebagai penyebab kecelakaan dikarenakan gangguan kejiwaan yang dideritanya. Namun, pengadilan juga menyarankan agar Ribut dirawat di rumah sakit jiwa saja. Karena keluarga tidak ingin anaknya masuk rumah sakit jiwa yang mereka anggap mirip penjara, akhirnya Ribut dibawa pulang, dibuatkan kandang khusus lalu dipasung.  –TAMAT-

Dipublikasi di Cerita Pendek Nah! | 3 Komentar

HAKIMICTURE’S MINIMALISTIC MOVIE POSTERS

Lama tidak menyentuh hal ini; bikin poster film “iseng” :D. Buat yang sudah kenal saya, pasti tahu kalau saya sering bikin poster film fiktif. Tapi untuk saat ini saya coba bikin poster versi minimlis dari film-film yang memang ada dengan typography yang eye-catching. Cuma lima dulu ya, soalnya walaupun sederhana ternyata cukup menyita waktu. Mudah-mudahan bisa dinikmati ^_^ Oh, iya. Klik gambar untuk melihat versi besarnya a.k.a. click to enlarge

Poster Touch of Evil

Poster Margin Call Poster Martha Marcy May Marlene Poster Take Shelter Poster The Girl with The Dragon TattooPoster Evil Dead

Dipublikasi di Apapun Itu | Meninggalkan komentar