Hari itu Rina mendapat sebuah undangan untuk sleepover malam nanti di rumah Vera, anak baru di sekolahnya yang baru satu hari saja telah klik dengannya. Vera bukanlah anak smp kebanyakan yang mulai mengenal tren dan mode masa kini. Bisa dibilang penampilannya kuno. Ngomong-ngomong soal kuno, itu tergantung penilaian masing-masing. Karena barang yang sedang trending lima tahun lalu terkadang bisa dibilang kuno jika dibandingkan saat ini. Jadi kita lupakan saja tentang penampilan Vera. Iya, lupakan saja rasa yang ada di hati. Karena menilai penampilan orang adalah hal tak baik dan kurang pantas bagi orang awam. Hal itu adalah hak para pemerhati fashion yang duduk-duduk di tepi catwalk, sambil makan gorengan dengan bumbu kacang. Entahlah mereka itu memang mengerti fashion atau cuma nimbrung karena ada gorengan gratis?
Mari kita balik untuk fokus ke Rina, karena hari sudah gelap.
Setelah menempuh perjalanan dengan bantuan teleportasi seorang mutan yang tak bisa disebutkan namanya di sini, sepertinya Rina sudah berada di teras rumah Vera. Dalam hal ini Rina begitu yakin dan tak memerlukan pemikiran lain macam; ‘sepertinya’. Sebagai pembaca, kita hormati saja keputusannya, karena kepercayaan diri itu penting.
Oke, setelah berhasil menghimpun kesadaran dari perjalanan memualkan bersama mutan tadi, ia pun diam sejenak. Sambil menghirup aroma mentol dari inhaler, Rina menengok ke kiri dan ke kanan, lalu memutar badannya mirip Michael Jackson saat beraksi di panggung dan diakhiri dengan mengangkat tangan kanan sambil mengacungkan jari telunjuk. Tidak ketinggalan dengan suara ‘Hi-hi’nya. Sayang, aksi kerennya tadi tak ada yang memerhatikan. Jadinya hanya untuk gaya-gayaan, menghibur diri. Karena suasananya memang sepi.
Iya.
Keadaan rumah yang terbuat dari beton itu juga sepi, bersahabat dengan kusamnya cat dinding dan lampu terasnya yang redup.
Rina bergegas mencari tombol bel rumah untuk dipencet.
Tidak ada …
Ia pun mengetuknya dengan keras, karena ia merasa bahan pintunya terbuat dari kayu besi yang tebal.
Setelah beberapa ketukan pelan namun berirama, ternyata tak dirasakan ada respon sama sekali dari dalam rumah. Dari jendela kaca juga tak terlihat lampu di dalam dinyalakan. Tak ada orang berteriak ‘Tunggu sebentar!’, apalagi suara langkah kaki yang mungkin tak bakal terdengar andaikan tidak memakai alas yang bisa menghasilkan suara saat menghantam lantai. Namun anehnya, hanya ada lolongan anjing ……., terdengar soak pula, tidak alamiah. Sepertinya dari suara kaset yang memiliki pita lecek, diputar menggunakan compo murahan milik seseorang, entah tetangga mana yang menyetel.
Merasa kesal, Rina mulai mengetuk lagi dengan lebih keras, kali ini dengan irama layaknya rentetatan peluru yang ditembakkan senapan mesin; RATATATATATATATATATATATATA!
Karena ini adalah ketukan, maka bunyi yang seharusnya dihasilkan adalah: TUKTIKTAKTIKTUKTIKTAKTIKTUK! Suara sepatu kuda.
Beberapa menit kemudian, ketukan beralih menjadi gedoran!
BRAKADUKABRAKADUKABRAKADUKABRAKABRAK!
Namun, setelah upaya yang mengikutsertakan gaya, yang jika diperhatikan, mirip tingkah drummer metal saat beraksi dengan rambut panjang yang gonjang-ganjing ber-headbanging, masih saja tak ada respon.
Rina diam sesaat.
Jari telunjuknya menggali lubang hidung.
Hasil galian lumayan melimpah.
Kemudian ia menghempaskan poni dan rambutnya yang panjang dan indah ke belakang tanpa slow motion …. dengan desahan seakan-akan mereguk kesegaran minuman berenergi.
Tetiba, layaknya seorang bocah model iklan susu formula yang mendapatkan ide biasa-biasa saja, matanya berbinar sambil berseru ‘A ha!”.
Ia angkat kursi kayu yang ada di teras dan langsung dihempaskan sekuat tenaga ke jendela kaca.
PRANG! PRANG! GEDEBUK! TEPERANGKANG!
Suara pecahan kaca memenuhi udara!
Kesunyian sirna.
Lampu-lampu disko menyala.
Para tetangga mulai menyembulkan kepala bersama seraya bertanya-tanya “Ada apa gerangan, ha?”, dan berkumpul sambil tunjuk sana, tunjuk sini layaknya model foto pre wedding yang disuruh pura-pura menunjuk entah-apalah-itu-di-sana.
Dengan suara hembusan angin kencang yang mengingatkan orang-orang akan sandiwara radio, yang ternyata berasal dari sebuah mini compo juga, terdengar begitu cocok menjadi suara pengiring kengerian yang dilihat orang-orang di sana; Rina berdiri dengan kepala mendongak, berkeringat deras, nafas tersengal-sengal dibumbui batuk. Ia menyeka ingus yang mengalir, lalu berteriak, “SIAPA YANG PUNYA KOREK API?!”.
Seseorang maju memberikan yang Rina inginkan. Namun tangannya mulai menggenggam tangan Rina.
“Jangan kau lakukan, Rin …”, ujarnya lirih.
Mendengar suara itu, Rina pun merasa terkejut. Ia mengenal suara itu! Lalu, entah bagaimana, halilintar menyambar, menggelegar cetar membahana. Hasilnya, satu pohon jambu porak-poranda, terbakar.
“VERA…!!???”, teriak Rina dengan wajah kaget dibuat-buat dan ingus tersedot.
Berderai air mata, Vera memeluk Rina, lalu berbisik, “Kamu salah rumah, itu bukan rumahku. Dan yang telah kamu lakukan ini, brutal!”. Keduanya pun tertawa dan berpelukan lebih erat. Orang-orang di sekeliling mereka pun turut tertawa, bertepuk tangan riang gembira, entahlah kenapa? Namun yang pasti, mereka hanya dibayar untuk mengikuti arahan sutradara.
THE END